Danau Sejuta Kenangan
DANAU SEJUTA KENANGAN
Karya : Afdina Melya G.F
Lagi-lagi aku termenung di tepi danau. Sendirian. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang menyenangkan. Karena sebentar lagi aku akan resmi menjadi siswi sekolah menengah pertama di Yogyakarta.
***
Oiya,
perkenalkan namaku Afdina, aku tinggal di Perumahan Pesona Gading Cibitung,
Bekasi. Rumahku dekat dengan sebuah danau buatan yang diberi nama Danau Telaga
Warna.
Danau
Telaga Warna masih asri dan terawat, karena jauh dari hiruk pikuk kesibukan
warga pinggiran kota Jakarta yang membanting tulang demi mencari nafkah. Setiap
sore, banyak warga yang sengaja meluangkan waktunya untuk mengunjungi danau
tersebut bersama keluarga. Mereka bersenda gurau bersama anggota keluarga
sembari melepas penat setelah sehari penuh memeras keringat untuk menghidupi
keluarga.
Biasanya
sepulang sekolah, aku dan kedua sahabatku, Sinta dan Alfian, menyempatkan diri
untuk sekedar bercengkrama di Danau Telaga Warna. Bahkan terkadang jika hari
libur tiba, kami menghabiskan waktu untuk bermain dan berenang di tepi danau
tersebut. Rumah kami terletak dalam satu kompleks, yaitu Kompleks Cempaka,
kompleks yang paling dekat dengan Danau Telaga Warna. Maka tak heran apabila
kami selalu bermain bersama di danau tersebut. Banyak sekali suka duka yang
kami lalui bersama di danau itu. Danau tersebut seakan menjadi saksi bisu kisah
persahabatan kami bertiga.
***
“ Nduk, udah selesai belum
beres-beresnya? “ teriakan lantang ibuku membuyarkan lamunanku.
“ Sedikit lagi siap, Bu.” Teriakku tak
kalah lantang.
“ Jangan kebanyakan melamun ya, sayang.
Apa perlu ibu bantuin?” ibuku memperingatkanku.
“ Hehe, iya Bu. Gak usah, nanti juga
beres kok, “ jawabku sembari meringis. Aku melirik kalender yang tergantung di
sudut kamarku, tertera jelas tullisan super besar dengan tinta merah ‘H-5 GO TO
YOGYAKARTA’. Aku memandang keluar jendela, menghela napas. Di luar sedang
hujan. Terlihat bulir-bulir air hujan yang jatuh membasahi semua yang di
timpanya, membawa berkah tersendiri bagi yang membutuhkannya. Aku segera
membereskan barang-barang yang ingin dan perlu aku bawa ke Yogyakarta.
Hujan mulai reda. Setelah memastikan
tugas beres-beresku selesai, aku langsung keluar dari rumah. Teriakan lantang
ibuku yang masih memasak di dapur tak kuhiraukan. Pura-pura tidak dengar gak
masalah kan? Hehe... Aku segera mengayuh sepeda ku ke Danau Telaga Warna.
Prediksi ku tepat. Sudah ada Sinta disana. Aku segera menghampirinya.
“ Dor! Mikirin Fian ya? Hehehe,”
godaku seraya menepuk bahu Sinta.
“ Hush ngawur! Ya enggak lah, aku
tuh lagi nungguin kamu sama Fian, kemana aja sih, lama banget? “ seloroh Sinta
memasang muka bete.
“ Iya deh, maaf. Fian mana? “
tanyaku sambil memencet hidung Sinta. Sinta hanya manyun. Dari kejauhan
terlihat Alfian yang sedang mengayuh sepedanya. Dia melambai ke arah kami.
“ Kamu kenapa telat lagi sih Yan?
Dikejar anjingnya Pak Widodo lagi? “ ledek Sinta sambil menatap Fian tajam.
Sinta memang paling tidak suka jika ada orang yang tidak tepat waktu.
“ Wah wah wah, ada yang ngambek nih,
maaf ya. Aku tuh tadi ke rumahnya Af dulu, tapi kata ibunya, Afdina-nya udah
bablas ke danau. Terus aku kesini deh, ” ucap Alfian yang masih terengah-engah.
“ Ngapain ke rumahku? Aku kan gak
minta dihampiri,” ucapku memperpanas suasana.
“ Aku kan setia kawan. Wlek,” balas
Fian sambil menjulurkan lidahnya. Sinta hanya geleng-geleng kepala.
“ Nah, sekarang aku yang tanya,
kenapa kamu nyuruh kita kesini? “ selidik Sinta langsung pada apa yang ingin
diketahuinya. Aku diam seribu bahasa. Pikiranku kembali menerawang jauh, jauh
sekali. Hingga aku tak sadar bahwa Sinta dan Alfian masih menantikan penjelasan
ku.
“ Af? “ seru Fian sembari
mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“ Aku... pengen ngomong sesuatu ke
kalian. Dan aku harap kalian gak marah...” ucapku lirih.
“
Gak akan, kita gak bakal marah,” potong Fian dengan tegas.
“
Aku.. diterima sekolah di Yogyakarta. Jadi rencananya aku akan pindah ke sana
sekitar empat hari lagi. Aku minta maaf kalau aku punya banyak salah sama
kalian, “ ucapku terisak. Sinta segera memelukku. Mungkin ia mengerti apa yang
sedang aku rasakan. Aku melirik Fian yang masih menatapku tak percaya. Ada raut
kesedihan yang terlintas di wajahnya. Aku semakin merasa bersalah.
Setelah
tangis ku mereda. Sinta melepas pelukannya.
“
Udah dong, jangan nangis lagi. Aku pengen lihat Afdina yang ceria kaya dulu lagi.
Kita ikut seneng kok kamu bisa diterima di sana, iya kan, Yan? “
“
Eh, i-i-ya kok, Af.” ucap Fian kikuk.
“
Kalau balik kesini jangan lupa oleh-olehnnya lho, Af.” celoteh Sinta berusaha
untuk tetap riang. Aku tersenyum lega.
“
Pulang yuk, udah mau malam nih,” pinta Sinta. Maklum, diantara kami bertiga,
rumah Sinta lah yang terletak paling jauh dari danau.
“
Oke! “ ucapku dan Alfian serempak. Aku, Sinta, dan Alfian segera mengayuh
sepeda masing-masing dan pulang ke rumah dengan diiringi keindahan senja yang
mulai menghilang tergantikan oleh malam.
***
Hari-hari terakhir sebelum kepindahanku
ke Yogya, kuhabiskan dengan termenung di tepi danau, tempat yang penuh dengan
sejuta kenangan. Seperti hari itu. Hari itu adalah hari terakhirku bisa
memandang danau ini, karena besok sore aku akan pergi meninggalkan tempat ini,
memulai kehidupan yang baru. Selepas dzuhur, aku pergi ke danau, lagi. Tapi
kali ini, aku sendiri. Tidak bersama kedua sahabatku. Aku ingin mengenang
kenangan-kenangan indahku sendiri.
Kurebahkan tubuhku di bawah pohon
yang rindang. Kupejamkan mataku. Kubiarkan angin sepoi-sepoi membelai rambutku.
Gemerisik dedaunan membawaku kembali ke masa lalu. Mengingat kenangan-kenangan
indah selama aku duduk mengenyam bangku sekolah dasar. Perlahan, aku membuka
mataku, menatap langit nan biru. Memantapkan pilihanku. Lamunanku memutar kembali
memori-memori masa laluku.
Sayup-sayup terdengar alunan lagu
yang tak asing di telingaku. Aku segera kembali ke alam sadarku. Semakin lama,
semakin jelas terdengar.
Kekuatan
hati yang berpegang janji
Genggamlah
tanganku sahabat
Ku
tak akan pergi meninggalkanmu sendiri
Temani
hati mu sahabat
Ingatkah
engkau kepada embun pagi bersahaja
Yang
menemani mu sebelum cahaya
Ingatkah
engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang
‘kan membelai mu sahabat
Aku segera menoleh ke arah sumber
suara. Terlihat Sinta dan Alfian yang sedang berjalan perlahan ke arahku. Aku
segera menghambur ke arah mereka. Pecah sudah isak tangis kami bertiga.
Sinta segera mengajak kami berdua
untuk duduk di bawah pohon. Kami terdiam beberapa saat, sibuk dengan isakan
masing-masing. Karena terlalu lama terdiam, suasana menjadi semakin canggung.
Akhirnya, Alfian membuka pembicaraan.
“ Af, aku minta maaf kalau aku punya
banyak salah sama kamu, aku sering iseng sama kamu, aku sering ngambek gak
jelas sama kalian. Dan satu lagi, mungkin ini terakhir kalinya kita bisa kumpul
bareng disini, aku diterima di Pondok Pesantren, Bogor.”
“ Aku juga Af, aku minta maaf kalau
aku punya banyak salah sama kamu. Kesalahan mu juga udah aku maafin kok, kamu
yang sering pencet hidung aku, kamu yang sering telat, dan lain-lain. Mungkin
Fian benar, ini terakhir kalinya kita bisa bareng ke danau ini, ini terakhir
kalinya kita bisa lihat senja bareng-bareng. “ sambung Sinta.
“ Aku.. juga minta maaf sama kalian,
karena aku tahu aku punya banyak salah sama kalian. Kesalahan kalian juga sudah
aku maafin kok, kalian yang sering nyontek PR aku, kalian yang pernah nyeburin
aku ke danau, dan lain-lain.” Kami tersenyum seraya memandang langit nan biru.
Memantapkan pilihan hati masing-masing.
Sekarang
aku sadar. Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, justru perpisahan adalah
awal untuk memulai hidup yang baru. Jangan jadikan perpisahan sesuatu yang
menyedihkan, tapi jadikan perpisahan suatu peristiwa yang mengharukan, penuh
dengan isak tangis kegembiraan. Yakinlah bahwa akan ada pelangi setelah hujan.
Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikan secuil kebahagiaan
yang sangat berarti bagiku.
Komentar
Posting Komentar